Senin, Desember 30, 2013

Membangun Peradaban Dengan Tradisi Ngaret?



Saya kesal sama orang yang ngaret saat mengadakan pertemuan. Emosi saya selalu bergolak saya jadi korban dari satu atau beberapa orang yang suka ngaret. Apalagi sang pelaku ngaret adalah seseorang yang ‘katanya’ aktifis dakwah. Kepingin rasanya saya marah-marah, mukul-mukul orang yang seperti itu. Ada saja alasannya jika ditanya mengapa harus ngaret. Sebagai sesama manusia saya pasti memaklumi jika dalam keadaan tertentu seseorang harus ngaret. Misal: ban bocor, hujan, sakit, atau ada panggilan mendadak yang sangat urgen yang penting alasannya jelas dan rasional. Jika demikian, saya pun pasti bisa memaklumi. Tapi jika ngaret lebih disebabkan karena kelalaian, kemalasan atau hal-hal yang tidak substansi, saya tidak bisa membiarkannya. Saya selalu ingin menceramahinya.

Bayangkan! Jika yang suka ngaret itu seorang yang katanya ‘aktifis dakwah”, sekali lagi ‘aktifis dakwah’. Dimana bagi saya seorang aktifis dakwah merupakan sosok yang harus memberikan keteladanan dalam mengimplementasikan nilai-nilai Islam. Apakah sang aktifis dakwah itu sengaja menelan ludah ajaran-ajaran yang selama ini dia sampaikan?. Bagi saya menyia-nyiakan waktu adalah hal yang sangat prinsipil. Allah saja bersumpah atas nama waktu. Sebagian ulama menafsirkan jika Allah bersumpah kepada makhluknya, hal itu menunjukkan ada sesuatu yang istimewa pada makhluk tersebut.
Bagi saya menghargai waktu bagi seorang muslim lebih dari sekadar ajang kompetisi kerja kepada sesama manusia, bukan karena ingin dianggap hebat di mata manusia, singkatnya bukan karena penilaian manusia. Tapi lebih dari itu, yakni bersifat transenden, melekat pada keimanan!.
Kalau kita mau mengakui kekurangan diri, kita ini lebih banyak gembar-gembor tentang dalil (nash al-quran). Dalil hanya dijadikan sebatas obat penenang dikala sedih. Dalil dijadikan ‘mantra kebanggaan’ bahwa ajaran Islam itu sempurna. Hanya sebatas itu!. ekstremnya, kita baru sebatas pandai berceramah belum pandai berbuat. Ajaran Islam baru dipahami secara normatif, belum mampu dijadikan sebagai sebuah gerakan. 
            Menurut saya, penghambat kemajuan peradaban Islam adalah terlalu sempitnya pandangan kita tentang agama Islam. Betul kiranya ungkapan Muh. Abduh salah seorang tokoh  pembaharu Islam asal Mesir “Islam itu tinggi namun terhijab oleh kekerdilan berpikir umatnya sendiri”.
            Lalu bagaimana mungkin Islam menjadi soko guru peradaban dunia jika nilai-nilainya seperti penghargaan terhadap waktu saja tidak di indahkan?. Tidak malukah kita umat muslim Indonesia, lebih tepatnya aktifis dakwah kampus Undip dengan  kedisiplinan orang-orang Jepang serta orang-orang Eropa yang notabene mayoritas non Islam?. Penghargaan mereka terhadap waktu sangat luar biasa, padahal jika ditanya mengapa mereka berdisiplin alasannya lebih berdasarkan penghargaan terhadap sebuah aturan atau sebuah konsesus yang dibuat bersama.
            Tanpa merasa bersalah seorang aktifis dakwah kampus yang nyata-nyata gemar ngaret bilang kepada kawan-kawannya gini: “Ikhwah fillah.. sungguh Islam ini amat sempurna, Islam mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan manusia sejak dari bangun tidur hingga tidur kembali. Tugas kita sebagai umat Islam adalah berdakwah kepada manusia agar kembali pada risalah Islam yang sempurna ini agar Islam menjadi soko guru peradaban”. Ada cicak di loteng ngeledek “Mimpi kali yee!”.

Semarang, 21 Desember 2013

Tidak ada komentar: