27 November 2013
Siang menjelang sore, pukul 14. 30 WIB merupakan hari bersejarah bagi saya. Engkau tahu bagaimana perasaan saya ketika penguji itu bilang “Suadara Anton Anda dinyatakan lulus!”. Yang artinya saya telah menjadi seorang sarjana. Sulit saya menggambarkan perasaan saya saat itu. Yang pasti saya sangat senang sekali. Mata saya sepertinya sudah berkaca-kaca meskipun sedikit. Jika bukan karena malu dilihat orang, mungkin saya akan menangis. Agak aneh memang. Ekspresi bahagia yang “teralu” malah bikin kedua bola mata berkaca-kaca. Terkadang batas antara bahagia dan sedih itu tipis sekali bahkan tak bisa dibatasi. Ya, saya sekarang sudah sarjana.
Siang menjelang sore, pukul 14. 30 WIB merupakan hari bersejarah bagi saya. Engkau tahu bagaimana perasaan saya ketika penguji itu bilang “Suadara Anton Anda dinyatakan lulus!”. Yang artinya saya telah menjadi seorang sarjana. Sulit saya menggambarkan perasaan saya saat itu. Yang pasti saya sangat senang sekali. Mata saya sepertinya sudah berkaca-kaca meskipun sedikit. Jika bukan karena malu dilihat orang, mungkin saya akan menangis. Agak aneh memang. Ekspresi bahagia yang “teralu” malah bikin kedua bola mata berkaca-kaca. Terkadang batas antara bahagia dan sedih itu tipis sekali bahkan tak bisa dibatasi. Ya, saya sekarang sudah sarjana.
Kenangan
di perjalanan
Mungkin engkau tidak tahu saat itu. Momen-momen
itu muncul kembali di kepala saya. Benar-benar dekat dan membuat saya terharu.
Muncul adegan-adegan masa lalu laksana film yang diputar ulang. Saat ayah dan
kerabat mengatar saya ke stasiun Senen. Menunggu di Halte Lebak Bulus, naik
Kopaja, berdesak-desakan dengan penumpang, makan di salah satu Warteg yang
harganya selangit sembari menunggu datangnya kereta bisnis senja utama pukul
19.00 WIB.
Perlu saya akui, saya belum pernah
merantau. Paling jauh saya hanya jalan-jalan ke Jakarta, Depok dan Bogor.
Itupun jarang-jarang, hanya sesekali saja. Masih terngiang sangat suara ayah,
Om Metu, berbincang-bincang dalam kereta tentang segala hal mengenai Jawa
Tengah, tentang Undip, tentang saudaranya yang ada di Semarang, tentang
mimpi-mimpi kelak jika saya telah “menjadi orang”. Perasaan saya waktu itu memang
galau. Galau tentang kehidupan saya selanjutnya di rantau. Bagaimana nanti? Apa
saya bisa menjaga diri? Apa ayah bisa membiayai saya sampai lulus? dan
macam-macam. Saya belum akrab dengan Jawa Tengah. Suadara pun tidak ada.
Ini adalah pertama kalinya saya berjalan
jauh untuk melanjutkan studi yang belum saya bayangkan sebelumnya. Hanya satu
keyakinan saya waktu itu. Saya harus mampu menjukkan bahwa saya bisa sekolah
tinggi, saya bisa menjadi orang yang lebih baik, saya punya masa depan yang
cerah, saya harus melakukan perubahan terhadap keluarga dan lingkungan sekitar.
Saya yakin dengan melanjutkan studi saya akan berubah, saya akan membanggakan
keluarga saya. Saya sadar untuk mencapai keinginan itu semua, saya harus
bersabar, saya harus kuat, saya harus siap menghadapi apapun. Saya harus siap
berlama-lama melawan perasaan saya sendiri untuk selalu “menjadi beban” orang tua. Meskipun hati saya
menjerit tidak tega melihat kesusahan mereka di rumah. Inilah jalan terbaik
bagi saya dan keluarga. Jika saya tidak memaksakan diri memilih jalan
melanjutkan studi, saya bisa memastikan diri bahwa kehidupan saya di masa depan
jauh akan lebih berat.
Modal nekat dan sedikit cuek itu yang
menguatkan hati saya. Saya memang ingin beda dengan suadara-saudara yang lain.
Saya tidak ingin nasib saya seperti mereka yang “begitu-begitu aja”. Saya ingin
membuat cerita baru dalam keluarga. Begitulah pergolakan batin saya waktu itu.
Saya masih teringat kuat peristiwa lima tahun yang lalu ketika pertama
kali menginjakan kaki di Stasiun Tawang Kota Semarang. Waktu itu baru pukul
02.00 WIB dini hari. Suasana masih terlihat sepi. Tidak jauh dari Stasiun, kami
bertiga duduk di bangku panjang yang terbuat dari bambu dan beratapkan terpal.
Entah tempat ini. Mungkin pos becak?. Hampir 1 jam lebih saya menunggu jemputan
dari kerabat Om Metu yang dengan kelapangan hati mau menerima saya dan ayah di
Semarang.
Seorang lelaki berpostur tegap datang
dengan mobil sedan warna hitam menjemput kami. Entah mobil merk apa saya tidak
memperhatikan. Ia kemudian menyalami kami bertiga. Terlihat Om metu begitu welcome. Kami bertiga masuk ke dalam
mobil itu dan dibawa menuju rumahnya yang terletak di kompleks polisi di
Krapyak. Sembari diperjalanan saya lihat kanan kiri. Suasana masih terlihat
sepi. Jarang saya liat bangunan tinggi bertingkat seperti di Jakarta. Kalaupun
bertingkat, tidak terlalu menjulang tinggi.
Kami sampai disebuah rumah yang tidak
terlalu besar dan tidak pula terlalu kecil. Di dalam sudah ada seorang ibu usia
parubaya menyambut kami. Lalu mengantarkan
ke kamar yang sudah disiapkan sembari menunjukkan letak kamar mandi dan
arah kiblat.
Pagi hari, kami sudah diberikan hidangan
yang istimewa oleh Istri sang Mayjen ini. Keluarga ini begitu baik terhadap
tamunya. Padahal saya dan ayah belum mengenal sama sekali. Mungkin lantaran ada
Om Metu-lah semuanya menjadi begini. Saya dan ayah dianggap menjadi bagian dari
keluarga. Semoga keluarga ini selalu mendapatkan perlindungan Allah.
Masih teringat kuat diingatan saya sejak
pagi hari kami bertiga bertanya-tanya perihal arah kampus Undip. Di bawah
langit Semarang yang panas kami berjalan-jelan diantara keramaian mengejar bus
yang bisa mengantarkan kami ke kampus Undip. Di dalam sebuah bus saya bertiga
harus rela berdiri. Saya memang lebih banyak diam waktu itu. Sepertinya saat
itu saya merasa terbebani di tempat yang baru ini. Di bus juga saya bertemu
dengan seorang wanita asal Tasik yang kalau tidak salah keterima di jurusan
Teknik Kimia Undip, namanya Yayi. Saya salut dengan dia. Dari Tasik ia hanya
seorang diri. Bahkan ia sempat cerita ia sudah nyasar di Pleburan.
Akhirnya kami bertiga di turunkan di
depan persis gerbang Undip. Karena kami saat itu belum tahu letak gedung Prof
Sudarto. Setelah bertanya-tanya dengan orang sekitar, akhirnya kami baru tahu
bahwa gedung Prof Sudarto masih jauh. Kami bertiga jalan kaki masuk ke dalam
area kampus Undip. Lumayan jaraknya mungkin sekitar 500 meter. Padahal jika
naik mobil angkot warna kuring mungkin hanya perlu waktu 5 menit. Tapi sayang
waktu itu kami bertiga belum tahu.
Di
halaman gedung Prof. Sudarto Undip
Gedung Sudarto dipenuhi dengan
mahasiswa. Di halaman depan banyak berderet stand-stand mahasiswa. Mereka berkumpul
dan bercengkrama sembari menjajakan aneka pernak-pernik dam makanan.
Aku minta Bapak dan Om Metu menunggu di
luar karena waktu registrasi ulang segera dibuka. Banyak sekali yang harus aku
kerjakan. Mulai dari mengisi formulir-formulir, tes kesehatan, tes warna, dan
macam-macam. Lama sekali. Entah bagaimana perasaan Bapak dan Om Metu di luar
selama menunggu saya di dalam.
Setelah selesai sekitar pukul 14.00 WIB
saya keluar melalui pintu depan (sebelumnya saya masuk lewat pintu samping). Luar
biasa sambutan mahasiswa-mahasiswa senior di muka pintu. Ibarat artis,
mahasiswa-mahasiswa baru disapa sedmikian rupa. Mereka memakai atribut
sedemikian rupa untuk agar memiliki daya tarik kepada mahasiswa baru. Mereka
berteriak “Teknik…tekniikk…. Psikologi… psikologi… dan macam-macam. Mereka
menarik-narik mahasiswa sembari bertanya “jurusan apa dek?”
Kontrakan
Pertama saya
Saya masih ingat raut kelelahan wajah
Bapak dan Om Metu waktu menunggu saya dari pagi sampai siang di bawah Pohon
Ketapang halama gedung Prof Sudarto. Kasihan memang. Akhirnya semua proses
daftar ulang selesai juga. Segera-lah saat itu saya beranjak menuju kontrakan yang
akan disediakan untuk saya selama satu tahun. Ya. Kak Heri (mahasiswa Teknik Elektro
2006) yang juga tetangga saya di kampung mengantarkan kami bertiga di
kontrakannya atau yang lebih akrab di sebut wisma.
Kami bertiga diantar kesebuah rumah yang
sekarang saya tahu rumah itu beralamat
di Gang Maerasari Timoho Barat no. 27 A. Rumahnya unik. Minimalis berlantai 2, temboknya
terbuat dari batako merah yang sengaja tidak di lapisi semen.
28 Desember 2014
Berambung….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar