Senin, Desember 30, 2013

Saya Udah Sarjana...


27 November 2013

Siang menjelang sore, pukul 14. 30 WIB merupakan hari bersejarah bagi saya. Engkau tahu bagaimana perasaan saya ketika  penguji itu bilang “Suadara Anton Anda dinyatakan lulus!”. Yang artinya saya telah menjadi seorang sarjana. Sulit saya menggambarkan perasaan saya saat itu. Yang pasti saya sangat senang sekali. Mata saya sepertinya sudah berkaca-kaca meskipun sedikit. Jika bukan karena malu dilihat orang, mungkin saya akan menangis. Agak aneh memang. Ekspresi bahagia yang “teralu” malah bikin kedua bola mata berkaca-kaca. Terkadang batas antara bahagia dan sedih itu tipis sekali bahkan tak bisa dibatasi. Ya, saya sekarang sudah sarjana.

 Kenangan di perjalanan

Mungkin engkau tidak tahu saat itu. Momen-momen itu muncul kembali di kepala saya. Benar-benar dekat dan membuat saya terharu. Muncul adegan-adegan masa lalu laksana film yang diputar ulang. Saat ayah dan kerabat mengatar saya ke stasiun Senen. Menunggu di Halte Lebak Bulus, naik Kopaja, berdesak-desakan dengan penumpang, makan di salah satu Warteg yang harganya selangit sembari menunggu datangnya kereta bisnis senja utama pukul 19.00 WIB.





Perlu saya akui, saya belum pernah merantau. Paling jauh saya hanya jalan-jalan ke Jakarta, Depok dan Bogor. Itupun jarang-jarang, hanya sesekali saja. Masih terngiang sangat suara ayah, Om Metu, berbincang-bincang dalam kereta tentang segala hal mengenai Jawa Tengah, tentang Undip, tentang saudaranya yang ada di Semarang, tentang mimpi-mimpi kelak jika saya telah “menjadi orang”. Perasaan saya waktu itu memang galau. Galau tentang kehidupan saya selanjutnya di rantau. Bagaimana nanti? Apa saya bisa menjaga diri? Apa ayah bisa membiayai saya sampai lulus? dan macam-macam. Saya belum akrab dengan Jawa Tengah. Suadara pun tidak ada.


Ini adalah pertama kalinya saya berjalan jauh untuk melanjutkan studi yang belum saya bayangkan sebelumnya. Hanya satu keyakinan saya waktu itu. Saya harus mampu menjukkan bahwa saya bisa sekolah tinggi, saya bisa menjadi orang yang lebih baik, saya punya masa depan yang cerah, saya harus melakukan perubahan terhadap keluarga dan lingkungan sekitar. Saya yakin dengan melanjutkan studi saya akan berubah, saya akan membanggakan keluarga saya. Saya sadar untuk mencapai keinginan itu semua, saya harus bersabar, saya harus kuat, saya harus siap menghadapi apapun. Saya harus siap berlama-lama melawan perasaan saya sendiri untuk selalu  “menjadi beban” orang tua. Meskipun hati saya menjerit tidak tega melihat kesusahan mereka di rumah. Inilah jalan terbaik bagi saya dan keluarga. Jika saya tidak memaksakan diri memilih jalan melanjutkan studi, saya bisa memastikan diri bahwa kehidupan saya di masa depan jauh akan lebih berat.

Modal nekat dan sedikit cuek itu yang menguatkan hati saya. Saya memang ingin beda dengan suadara-saudara yang lain. Saya tidak ingin nasib saya seperti mereka yang “begitu-begitu aja”. Saya ingin membuat cerita baru dalam keluarga. Begitulah pergolakan batin saya waktu itu.

Saya masih teringat kuat peristiwa lima tahun yang lalu ketika pertama kali menginjakan kaki di Stasiun Tawang Kota Semarang. Waktu itu baru pukul 02.00 WIB dini hari. Suasana masih terlihat sepi. Tidak jauh dari Stasiun, kami bertiga duduk di bangku panjang yang terbuat dari bambu dan beratapkan terpal. Entah tempat ini. Mungkin pos becak?. Hampir 1 jam lebih saya menunggu jemputan dari kerabat Om Metu yang dengan kelapangan hati mau menerima saya dan ayah di Semarang.

Seorang lelaki berpostur tegap datang dengan mobil sedan warna hitam menjemput kami. Entah mobil merk apa saya tidak memperhatikan. Ia kemudian menyalami kami bertiga. Terlihat Om metu begitu welcome. Kami bertiga masuk ke dalam mobil itu dan dibawa menuju rumahnya yang terletak di kompleks polisi di Krapyak. Sembari diperjalanan saya lihat kanan kiri. Suasana masih terlihat sepi. Jarang saya liat bangunan tinggi bertingkat seperti di Jakarta. Kalaupun bertingkat, tidak terlalu menjulang tinggi.

Kami sampai disebuah rumah yang tidak terlalu besar dan tidak pula terlalu kecil. Di dalam sudah ada seorang ibu usia parubaya menyambut kami. Lalu mengantarkan  ke kamar yang sudah disiapkan sembari menunjukkan letak kamar mandi dan arah kiblat.

Pagi hari, kami sudah diberikan hidangan yang istimewa oleh Istri sang Mayjen ini. Keluarga ini begitu baik terhadap tamunya. Padahal saya dan ayah belum mengenal sama sekali. Mungkin lantaran ada Om Metu-lah semuanya menjadi begini. Saya dan ayah dianggap menjadi bagian dari keluarga. Semoga keluarga ini selalu mendapatkan perlindungan Allah.

Masih teringat kuat diingatan saya sejak pagi hari kami bertiga bertanya-tanya perihal arah kampus Undip. Di bawah langit Semarang yang panas kami berjalan-jelan diantara keramaian mengejar bus yang bisa mengantarkan kami ke kampus Undip. Di dalam sebuah bus saya bertiga harus rela berdiri. Saya memang lebih banyak diam waktu itu. Sepertinya saat itu saya merasa terbebani di tempat yang baru ini. Di bus juga saya bertemu dengan seorang wanita asal Tasik yang kalau tidak salah keterima di jurusan Teknik Kimia Undip, namanya Yayi. Saya salut dengan dia. Dari Tasik ia hanya seorang diri. Bahkan ia sempat cerita ia sudah nyasar di Pleburan.

Akhirnya kami bertiga di turunkan di depan persis gerbang Undip. Karena kami saat itu belum tahu letak gedung Prof Sudarto. Setelah bertanya-tanya dengan orang sekitar, akhirnya kami baru tahu bahwa gedung Prof Sudarto masih jauh. Kami bertiga jalan kaki masuk ke dalam area kampus Undip. Lumayan jaraknya mungkin sekitar 500 meter. Padahal jika naik mobil angkot warna kuring mungkin hanya perlu waktu 5 menit. Tapi sayang waktu itu kami bertiga belum tahu.

Di halaman gedung Prof. Sudarto Undip

Gedung Sudarto dipenuhi dengan mahasiswa. Di halaman depan banyak berderet stand-stand mahasiswa. Mereka berkumpul dan bercengkrama sembari menjajakan aneka pernak-pernik dam makanan.

Aku minta Bapak dan Om Metu menunggu di luar karena waktu registrasi ulang segera dibuka. Banyak sekali yang harus aku kerjakan. Mulai dari mengisi formulir-formulir, tes kesehatan, tes warna, dan macam-macam. Lama sekali. Entah bagaimana perasaan Bapak dan Om Metu di luar selama menunggu saya di dalam.

Setelah selesai sekitar pukul 14.00 WIB saya keluar melalui pintu depan (sebelumnya saya masuk lewat pintu samping). Luar biasa sambutan mahasiswa-mahasiswa senior di muka pintu. Ibarat artis, mahasiswa-mahasiswa baru disapa sedmikian rupa. Mereka memakai atribut sedemikian rupa untuk agar memiliki daya tarik kepada mahasiswa baru. Mereka berteriak “Teknik…tekniikk…. Psikologi… psikologi… dan macam-macam. Mereka menarik-narik mahasiswa sembari bertanya “jurusan apa dek?”

Kontrakan Pertama saya

Saya masih ingat raut kelelahan wajah Bapak dan Om Metu waktu menunggu saya dari pagi sampai siang di bawah Pohon Ketapang halama gedung Prof Sudarto. Kasihan memang. Akhirnya semua proses daftar ulang selesai juga. Segera-lah saat itu saya beranjak menuju kontrakan yang akan disediakan untuk saya selama satu tahun. Ya. Kak Heri (mahasiswa Teknik Elektro 2006) yang juga tetangga saya di kampung mengantarkan kami bertiga di kontrakannya atau yang lebih akrab di sebut wisma.

Kami bertiga diantar kesebuah rumah yang sekarang saya tahu  rumah itu beralamat di Gang Maerasari Timoho Barat no. 27 A. Rumahnya unik. Minimalis berlantai 2, temboknya terbuat dari batako merah yang sengaja tidak di lapisi semen.

28 Desember 2014

Berambung….

Tidak ada komentar: