Minggu, September 28, 2014

Belajar Memahami Negara dari Kontrakan (Sebuah Catatan Semasa Kuliah di Undip)







Semasa kuliah di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, saya tinggal di rumah warga sekitar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kampus. Saat pertama kali menginjakan kaki di Kota Semarang, saya tinggal di Jl. Banjarsari Gang Maerasari no 27 A. Saya tinggal di rumah minimalis 2 lantai dengan dinding-dinding pagar bata merah yang belum rampung. 

Rumah tersebut memang di kontrakan kepada kami para mahasiswa perantauan. Pada masa itu (tahun 2008) kami harus membayar kurang lebih 800 ribu/orang/tahun. Saat itu di kontrakan kami berjumlah 8 orang. Berarti kami harus membayar 16 juta pertahun. Itulah pengalaman saya tinggal di rumah kontrakan saat di perantauan.


Beberapa senior saya adalah aktivis-aktivis kampus. Ada yang aktif di organisasi intra kampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Rohani Islam (Rohis) dan ada juga yang aktif di organisasi Ekstra kampus seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Namun ada juga yang tidak ikut semuanya. 

Saya pada awalnya belum aktif ikut organisasi. Saya hanya mengikuti saja kegiatan-kegiatan mereka. Saya belum punya pengetahuan lebih tentang macam-macam organisasi di kampus waktu itu. Bergaul dengan para aktivis tersebut banyak memberikan warna baru bagi hidup saya. Kontrakan yang saya diami tidak lepas dari kegiatan-kegiatan para aktivis tersebut.

Kontrakan merupakan tempat pertama saya memahami lingkungan dan orang-orangnya. Saat itu di kontrakan kami ada yang berasal dari  Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Kami saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Kerap saya mendengar mereka berbicara menggunakan bahasa Jawa, Padang dan campuran saat berkomunikasi. Terkadang perbedaan-perbedaan sepele watak khas masing-masing itu kami jadikan bahan candaan untuk saling mencairkan suasana. Bahkan dalam kondisi-kondisi kritis perbedaan watak tersebut hingga membuat renggang hubungan kami. 

Kesamaan yang kami miliki adalah kesamaan akidah yakni Islam. Selain itu di kontrakan yang saya tinggali terdiri dari orang yang tidak terlalu neko-neko. Shalat lima waktu merupakan kewajiban yang sudah kami pahami bersama. Sehingga untuk hal yang satu ini kami sepakat untuk memeliharanya dan saling mengingatkan satu sama lain.

Agar kehidupan di kontrakan bisa berjalan dengan baik, kami para penghuni kontrakan berembuk menyusun organisasi sederhana. Kami menyepakati ketua, sekretaris, bendahara, serta bagian-bagian lainnya. Kami menginginkan supaya kehidupan di kontrakan bisa tertib. Masing-masing membuat program kerja sendiri-sendiri. Ada program harian, mingguan bahkan bulanan. Tujuannya agar kontrakan tidak hanya sebagai tempat mandi tidur saja namun menjadi tempat pengembangan diri.

Saat berembuk di awal, kami optimis semua program kerja kontrakan itu bisa terealisasi dengan baik, namun ketika di perjalanan, semuanya tidak mudah untuk dijalani. Sebagai contoh, Dzikir pagi Al-Matsurat, kuliah tujuh menit (kultum) tiap subuh, piket kontrakan tidak berjalan sesuai rencana. Program kerja tersebut tidak berjalan salah satu sebabnya adalah pengawasan dari kami sendiri mulai dari ketua sampai dengan anggota begitu lemah, sehingga terlupakan begitu saja selama berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. 

Semuanya sibuk dengan kegiatannya masing-masing di kampus. Program kerja yang telah di buat hanya tertulis di atas kertas tanpa implementasi yang nyata. Hingga di penghujung tahun pertama saya kuliah, kontrakan kami menjadi tempat yang seadanya saja. Hanya sekadar menjadi tempat mandi dan tidur karena tidak terprogram dengan baik sebagaimana rencana di awal.
Di tahun kedua, saya mencari kontrakan yang berbeda. Di kontrakan sebelumnya memang tempatnya sangat nyaman dan bangunanya juga minimalis. Namun jaraknya ke kampus cukup jauh dan agak menyukarkan saya mencari sarana dan prasarana seperti warteg, tukang fotocopi, toko alat-alat tulis dan sebagainya. 

Kondisi tersebut cukup merepotkan. Apalagi saya belum memiliki kendaraan waktu itu. Tiap pagi saya harus bangun pagi dan berjalan kaki menuju kampus yang membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Alhamdulillah saya mendapatkan kontrakan yang cukup besar dan strategis di Jalan Banjarsari Gang Margoyoso No. 28.

Penghuni kontrakan baru tersebut ternyata jumlahnya 2 kali lipat yakni berjumlah 17 orang. Ramai sekali. Orang-orangnya pun semakin beragam bahkan ada yang berasal dari Nusa Tenggara Barat. Seperti biasa agar kontrakan berjalan kondusif kami membuat susunan organisasi kontrakan, mulai dari ketua, sekretaris, bendahara, hingga divisi-divisinya.  Masing-masing membuat program kerja yang harus direalisasikan.

Secara implementasi, keberjalanan program kerja di kontrakan baru ini lebih baik. Jumlah mahasiswa yang rajin beribadah seimbang dengan yang malas. Pada minggu pertama, program-program kerja kontrakan bisa berjalan dengan baik. Mulai dari shalat berjamaah, al ma’tsurat, silaturahim warga, dan petugas piket. 

Mulai di minggu ke dua, muncul permasalahan-permasalahan baru yakni, kurang berjalannya petugas piket, sebagian penghuni tidak shalat berjamaah, bahkan sebagian ada yang tidak pulang-pulang ke kontrakan. Lama-kelamaan program-program yang dibuat makin di lupakan. Kontrakan semakin tidak terurus, sampah-sampah menumpuk, piring gelas kotor bertebaran dimana-mana. Beberapa penghuni ada yang tetap istiqomah menata kontrakan namun sebagian besar penghuni mulai tidak peduli lagi dengan kontrakan. Kontrol sosial semakin luntur, masing-masing tidak terlalu peduli kondisi yang lain. 

Senior-senior mulai sering bereriak-teriak memberikan peringatan kepada siapa saja yang tidak menjalankan peraturan. Misalnya saat membangunkan tidur pada saat waktu shalat, memberi nasehat karena ketahuan sengaja tidak shalat berjamaah, menonton tivi di waktu shalat dan lain sebagainya. Bagaimana reaksi para penghuninya?. Ada yang mematuhinya dengan taat, namun ada juga yang mengabaikannya bahkan melawannya. Kontrakan kami mulai terlihat tidak kondusif.

Kalau saya analisa sejak pertama saya mendiami kotrakan pertama dan kedua, permasalahannya bukan pada peraturan yang dibuat kurang lengkap. Akan tetapi berasal dari kurangnya kesadaran personal. Kontrakan yang pertama tidak lebih tertib daripada kontrakan yang kedua karena masing-masing personal memiliki kesadaran dan kepekaan yang rendah tentang pentingnya ibadah.

 Selain itu rendahnya pengawasan dan ajakan melakukan kebaikan memperparah kondisi kontrakan. Hal ini berdampak pada kurang berjalannya program-program kerja kontrakan yang lainnya seperti pentingnya menjaga kebersihan dan keindahan. Masing-masing masih memiliki permasalahan personal yang belum terselesaikan.
Beragamnya latar belakang penghuni kontrakan pun harus menjadi pertimbangan dalam menyukseskan program kerja yang dicita-citakan. Ada orang yang berasal dari kalangan Nahdliyin (NU), Muhammadiyah, Salafi, dan lain-lain, mereka dididik dengan cara yang berbeda. Mereka memiliki perspektif yang berbeda dalam memahami Islam. Ini yang harus diperhatikan jika kontrakan ingin memayungi dari berbagai macam kalangan. Bukan dengan cara menyamaratakan pemahaman seseorang. Tentu tidak bijak memukul rata hukum secara kaku kepada orang yang belum memahami ajaran Islam.  

Bayangkan jika ada satu atau dua orang yang menginginkan terciptanya kontrakan Islami namun kondisi penghuninya saja belum memahami nilai-nilai Islam, bukankah sama saja menciptakan konflik?. Boro-boro pesan-pesan Islam akan tersampaikan justru malah akan terjadi perang saudara. Cita-citanya memang luhur namun jika caranya yang tidak bijaksana justru akan menutupi keluhuran tersebut. Padahal seandainya para penghuni kontrakan tersebut sudah terbina dengan baik bukan berarti tidak ada masalah, pasti masalah akan tetap muncul meski tidak sebesar kondisi pertama.

 Para senior kami mungkin tidak perlu teriak-teriak untuk mengajak salah satu penghuni yang menolak shalat subuh berjamaah. Jika penghuninya telah terbina dengan baik tentu mereka cukup mengingatkan dengan suara yang pelan. Dengan sendirinya peraturan yang telah dibuat akan mereka laksanakan tanpa merasa keberatan.

Manusia dan peraturan (Sistem) tidak bisa di pisahkan. Manusia yang menciptakan sistem sekaligus melaksanakannya. Adakalanya sistem telah dibuat sedemikian rupa agar kehidupan manusia bisa berjalan dengan baik, namun ternyata sistem tersebut belum terlaksana dengan baik. Adakalanya sistem yang sudah berlaku dan diterima oleh masyarakat  tertentu tidak cocok diterapkan di tempat yang lain. 

Adakalanya sistem yang dibuat manusia itu menyesuaikan dengan kondisi atau konteks zamannya karena setiap zaman memiliki semangat zaman yang berbeda-beda. Bisa jadi suatu sistem cocok pada zamannya namun belum tentu cocok di zaman yang lain. Manusia bukanlah benda yang statis, manusia akan selalu berkembang menyesuaikan dengan perkembangan zaman sebagai usaha mewujudkan eksistensinya.

Sebagian dari umat Islam ada yang menuntut agar kembali kepada “Sistem Islam” “Khilafah Islamiyah” sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni yang ada. Nostalgia kejayaan Islam masa lalu amat sangat diimpikan terjadi di masa kini dan yang akan datang. Padahal kondisi saat ini peradaban barat telah mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Lihat saja mulai dari tata cara makan, model pakaian, sampai dengan tata cara tidur, barat telah membuat aturan-aturan tersendiri. 

Pengaruh barat yang begitu luas di negara-negara muslim “memaksa” masyarakat  muslim untuk mengikutinya, sehingga beragam reaksi pun muncul. Mulai dari yang menolak secara langsung, yang selektif memilah-milah, sampai dengan yang membebek secara buta. Peradaban Barat memang telah berhasil memosisikan diri menjadi tolak ukur kemajuan. Peradaban Barat pun seakan-akan menjadi penentu benar-salah, baik-tidak baik dan indah tidak indah. Mentalitas kaum muslim/sebagai masyarakat yang terhegemoni pun bertarung melawan arus besar peradaban barat.

 Lihatlah gaya hidup sebagian besar umat Islam yang banyak meniru-niru peradaban barat. Mereka merasa terhormat dan bangga jika gaya hidup mereka seperti orang barat. Barat dalam hal ini telah menjadi tolak ukur kemajuan seseorang. Jika tidak ikut trend barat maka akan dianggap ketinggalan zaman. 

Memang kita tidak boleh menutup mata bahwa tidak semua yang berasal dari barat itu buruk. Kita tidak boleh apriori secara membabi buta memusuhi peradaban barat seluruhnya apalagi membenci bangsanya. Yang kita tolak adalah pikiran-pikirannya, ajarannya, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Kembali pada permasalahan bagaimana bentuk “sistem Islam” itu? Apa harus berbentuk “khilafah” seperti di masa lalu? Apakah berbentuk kerajaan?. Dimanakah saat ini negara yang telah menerapkan “Sistem Islam” yang betul-betul sehingga menjadikan negara tersebut layak dijadikan contoh?. Apakah layak negara yang mengklaim “negara Islam” tersebut dijadikan prototipe kesuksesan ajaran Islam dalam membangun negara?. 

Saya kira Islam  (dalam hal ini Alquran dan sunnah) tidak menjelaskan secara khusus kepada umatnya untuk membuat aturan (sistem) harus berbentuk kerajaan ataukah republik dll. Al-quran sebagai pedoman hidup manusia berlaku bagi masa lalu, kini, dan yang akan datang. Dalam  Alquran tidak dijelaskan secara rinci mengenai bentuk negara dalam masyarakat Islam. Hal tersebut bukan berarti ajaran Islam tidak lengkap, namun justru disitulah letak keunggulannya. 

Al-quran hanya memberikan arahan-arahan umum tentang kepemimpinan. Makanya sumber hukum dalam ajaran Islam itu yakni Al-quran, Sunnah, Ijma dan qiyas. Pasca Rosulullah wafat, ajaran Islam terus berkembang baik ke Barat, Timur, Utara, dan Selatan. Ajaran Islam tidak hanya bersentuhan dengan masyarakat Arab saja akan tetapi menyebar sampai ke Eropa. Masing-masing masyarakat tersebut telah memiliki akar kebudayaan yang unik. 

Masyarakat tersebut telah memiliki cara-cara sendiri dalam mengatur kehidupannya. Islam sebagai agama yang toleran masuk ke dalam kehidupan masyarakat setempat, lalu terjadilah percampuran budaya (Akulturasi) dan penyesuaian-penyesuaian (Akomodasi). Di Nusantara sendiri muncullah komunitas-komunitas Islam di wilayah pesisir. Komunitas tersebut kemudian terus berkembang memiliki kekuatan ekonomi dan politik, sehingga lahirlah kerajaan-kerajaan bercorak Islam.

 Penguasaan politik itu tentu memberikan kesempatan yang luas untuk mewarnai hukum-hukum setempat. Sifat Islam yang toleran memungkinkan adanya penyesuaian terhadap aturan-aturan setempat. Tradisi yang telah berkembang dalam masyarakat tidak di buang begitu saja akan tetapi di sesuaikan dengan ajaran Islam. 

Cara penyesuaiannya pun dilakukan dengan bertahap-tahap. Makanya hingga saat ini kita melihat banyak sekali tradisi-tradisi lokal yang begitu kental namun telah bercampur dengan ajaran Islam bahkan justru sekilas terlihat nilai-nilai Islamnya justru tidak nampak. Yang nampak kental adalah tradisi-tradisi pra Islam. Meskipun demikian sebetulnya kita bisa menggali semangat pendakwah di masa lalu bahwa mereka menyampaikan ajaran Islam dengan cara yang begitu santun.

Oleh sebab itu, saya kira kita tidak usah terlalu memaksakan menciptakan “sistem Islam”, Khilafah Islamiyah, bahkan “Negara Islam”. Saya kira yang paling penting dilakukan umat Islam kini adalah terus-menerus melakukan perbaikan dengan berbagai cara—tentu bukan menghalalkan segala cara--, baik melalui lembaga legislatif, eksekutif, maupun lembaga-lembaga lainnya. Kita memang harus memiliki skala prioritas yang jelas. Semua bidang harus kita berdayakan agar saat kepemimpinan Islam kuasasi, lembaga-lembaga pendukung  lainnya bisa memperkuat posisi umat Islam.

 Kita tentu tidak cukup berkuasa di bidang politik saja disisi lain bidang-bidang yang lainnya masih dikuasai peradaban lain. Selain itu perjuangan secara kultural pun tidak kalah penting. Perjuangan kultural yang dimaksud adalah perjuangan melalui cara-cara yang soft (lunak) seperti pembinaan orang-perorang, pembinaan keluarga, dan masyarakat.

 Pembinaan bisa dilakukan dengan cara berinteraksi langsung dengan masyarakat, menuntun masyarakat dengan program-program pemberdayaan yang bermanfaat, maupun dengan cara tidak langsung yakni membuat penerbitan-penerbitan buku, seminar, film, maupun musik. Tentu keduanya harus berjalan seiring sejalan. Jika pepmbinaan secara kultural tidak terjadi, tentu akan menjadi penghambat di masa yang akan datang saat kepemimpinan di kuasai. Hambatan tersebut yakni munculnya gejolak-gejolak dalam masyarakat masyarakat. 

Gejolak tersebut lantaran masyarakat tidak siap menjalankan aturan (sistem) yang dibuat oleh penguasa yang baru. Logikanya jika masyarakat paham bahwa shalat lima waktu itu wajib hukumnya apakah perlu di buat polisi syariah? Tentu tidak perlu. 

Saya yakin dengan sendirinya masyarakat jika telah memahami akan mampu menyesuaikan dengan peraturan (sistem) yang dibuat.  Apalagi jika masyarakat yang dipimpin bukan hanya dari kalangan umat Islam saja namun juga dari kalangan non Islam. Kemuliaan Islam pun harus mempu masuk ke dalam logika mereka.

 Keindahan Islam harus mempu dipahami oleh bahasa mereka. Kepada mereka Islam harus bisa dijelaskan secara rasional mengenai permasalahan-permasalahan muamalahnya. Jika kita belum mampu membahasakan ketinggian Islam dengan bahasa mereka, tentu ini juga akan menjadi penghambat. Mereka akan sulit menerima kepemimpinan dari kalangan umat Islam.
Magelang, 29 September 2014

1 komentar:

wrotehistory mengatakan...

Dewasa banget kamu ton sekarang, umur berapa sih ton? lol... Tolong buku + ttd ton kirim satu ke saya