Jumat, Agustus 07, 2015

Membangun Indonesia Melalui Strategi Kebudayaan yang Holistik

Beberapa bulan yang lalu kami bersama murid-murid mengadakan long march dengan rute Pabelan menuju Bukit Tidar Kota Magelang. Agenda ini merupakan agenda tahunan yang di rencanakan oleh sekolah. Saat itu memang waktunya makan siang rombongan. Ketika para pemandu selesai membagi-bagikan nasi bungkus untuk murid-murid, barulah kami makan siang. Waktu itu kami berada di pelataran salah satu warga. Kemudian datanglah seorang ibu-ibu berusia 50-an menghampiri dengan sapaan yang begitu ramah. Beliau menyapa kami dengan bahasa Jawa halus Pinara Mas, Saking Pundi Mas?[Silahkan duduk, darimana Mas?Khawatir merepotkan lalu saya jawab tawaran Sang ibu dengan mengucapkan terima kasih. Di sini saja bu, ndak apa-apa, terima kasih banyak. Sembari tersenyum sang ibu kemudian masuk ke dalam rumah.


Berselang beberapa saat ibu tadi kembali lagi menemui kami di pelataran rumahnya dengan membawa teko dan gelas. Bukan hanya itu ia membawa ember berisi air untuk cuci tangan kami. Saya pribadi merasa kagum dengan keramahan sang ibu. Saya begitu tersanjung diperlakukan amat baik seperti itu. Tidak banyak kata-kata yang diungkapkan sang ibu kepada saya, tapi keramahan itu bergitu terasa bagi saya. Dalam hati saya masih bertanya-tanya; kami sebelumnya tidak saling kenal tapi mengapa ia memperlakukan kami sangat baik?

 Dari pengalaman tersebut saya mengakui bahwa benar adanya jika ada yang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia terkenal dengan sikap ramah, gotong-royong dan toleransinya. Keramahan, gotong royong dan toleransi itu masih terasa di desa-desa yang jauh dari keramaian kota. Meski di media massa baik cetak maupun elektronik sering di beritakan kasus-kasus kriminalitas, saya kira fenomena itu bukanlah mewakili karakter masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Publikasi media memperlihatkan persoalan dalam lingkup kecil seakan-akan terlihat besar. Namun pada kenyataanya masih banyak masyarakat kita yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur seperti keramahan, gotong-royong dan toleransi.

Meskipun demikian harus diakui bahwa akhir-akhir ini generasi muda semakin meninggalkan nilai-nilai lokal yang sebetulnya sangat baik. Nilai-nilai itu antara lain; sikap kekeluargaan, gotong royong, ramah, rasa malu, kerja keras dan toleransi. Tentu memudarnya nilai-nilai ini di kalangan generasi muda bukan tanpa sebab. Fenomena ini adalah tantangan yang harus dihadapi generasi muda saat ini. Mereka berhadap-hadapan secara langsung hegemoni negara adikuasa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak bisa dielakkan lagi bahwa penguasa iptek adalah aktor yang menggerakkan perubahan sosial di berbagai negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Selain itu, generasi muda Indonesia masih harus berjuang agar terbebas dari lingkaran kemiskinan yang membahayakan. Kemajuan iptek yang sangat cepat berhadap-hadapan dengan masyarakat yang belum mapan sehingga menimbulkan ketimpangan psikologis. Kemajuan iptek yang pada dasarnya hadir untuk memudahkan aktivitas manusia secara rasional, namun telah merubah masyarakat menjadi irasional. Dahulu fungsi awal handphone digunakan untuk memudahkan komunikasi sehingga mendekatkan yang jauh. Namun kini justru telah terjadi anomali, yang jauh didekatkan, sedangkan yang dekat justru dijauhkan. Beragamnya benda-benda canggih baru sekadar berfungsi simbolik bukan substansi.

Canggihnya sarana informasi merupakan gerbang utama masuknya pengaruh-pengaruh luar yang berbuah perubahan sikap masyarakat Indonesia. Beragam pesan baik dalam bentuk kata-kata, suara, gambar begitu mempengaruhi hidup masyarakat Indonesia. Tidak hanya bagi masyarakat di kota-kota besar, namun juga masuk ke pelosok desa-desa.

Nilai-nilai luhur seperti kesopanan, kekeluargaan, gotong-rotong, toleransi, kesabaran, dan kerja keras menjadi suatu hal yang tidak umum lagi bagi masyarakat kita. Nilai-nila luhur itu mulai tergerus dengan ide-ide asing yang malah destruktif. Masyarakat kita terutama generasi mudanya terjangkit virus Individualistis, materialistis, pragmatis, dan hedonistis. 

Berdasarkan survei Kominfo tahun 2014, 50 persen pelajar yang ada di 12 kota besar di Indonesia mengaku pernah mengakses laman pornografi. Data lainnya sesuai Google Trends terlihat bahwa penyebaran pengguna internet dengan media search engine Google yang mengandung konten porno menyebar merata sekitar 95 persen wilayah di Indonesia. Dari data itu terdapat 9 provinsi yang sering mengakses konten porno, yaitu Sumatera Utara dan Kepulauan Nias dan sekitarnya, DKI Jakarta, Jawa Timur, NTB dan NTT, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan sebagian Sulawesi Utara, Kepulauan Maluku, serta Papua.[Anonim, Selamatkan Generasi Kita, (online) http://www.timorexpress.com/ kupang-metro/ selamatkan-generasi-kita#ixzz3aM5mCjYC), di post pada hari Senin 10 Mei 2015, dan di unduh tanggal 17 Juni 2015.
]
Mengapa fenomena ini bisa terjadi?. Menurut hemat penulis fenomena ini disebabkan oleh 2 faktor umum yakni faktor eksternal dan internal. Dalam kesempatan ini penulis akan lebih fokus membahas mengenai faktor internal agar tidak terjebak menyalahkan pihak luar. Ibarat pohon besar yang tumbang dipinggir jalan, bukan semata-mata karena kencangnya tiupan angin, namun rapuhnya pohon itulah yang menjadi sebab utama.

1.Generasi muda Indonesia mulai kehilangan pegangan hidup. Kondisi ini karena falsafah-falsafah bangsa kurang tersosialisasikan dengan baik melalui lembaga-lembaga pendidikan. Internalisasi falsafah-falsafah bangsa itu juga baru sebatas pengetahuan (knowledge) belum ditekankan pada tataran praktik.

2.Perhatian orang tua yang minim mendorong anak untuk mencari perhatian di luar rumah. Dalam hal ini struktur keluarga yang kurang kondusif mempengaruhi tumbuh kembang perilaku anak. Ibu yang sibuk menjadi wanita karir, sering kali memberikan perhatian yang sangat minim terhadap anak, sehingga nilai-nilai utama yang seharusnya bisa disampaikan melalui keluarga belum berjalan secara optimal. Bahkan mirisnya anak-anak dibesarkan oleh pengasuh yang secara kapasitas memiliki basik pendidikan yang rendah.

3.Lemahnya pengawasan dan penegakkan hukum pemerintah terhadap ekses buruk informasi-informasi dari luar. Demokrasi disisi lain telah banyak memberikan kebaikan, namun juga menjadi parasit yang membunuh nilai-nilai luhur bangsa. Atas nama kebebasan berkespresi seseorang dengan mudahnya mengeluarkan semua ide-idenya tanpa melihat heterogenitas masyarakat. Baik dilihat dari latar belakang daerah, tingkat pendidikan, maupun tingkat perekonomiannya. Padahal dalam hal kebudayaan, perubahan sosial bukanlah perkara instan.

Cepatnya perubahan-perubahan yang terjadi telah menimbulkan kebingungan pada masyarakat. Masyarakat Indonesia dalam kondisi bingung apakah harus berpatokan pada nilai-nilai lama ataukah berpatokan pada nilai-nilai baru yang liberal. Alhasil kondisi hidup yang sulit serta diliputi kebingungan itulah mendorong masyarakat kita menjadi masyarakat yang pragmatis. Segalanya dilihat dari kacamata untung-rugi. Adapun nilai-nilai kehidupan yang luhur itu semakin ditinggalkan karena dianggap tidak cocok dengan perkembangan zaman.

Pancasila bukan sekadar identitas, tapi semangat hidup bangsa

Betapa beruntung bangsa Indonesia memperoleh warisan yang begitu luhur yakni Pancasila. Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Pancasila adalah tali yang mengikat heterogenitas masyarakat Indonesia. Sila-silanya bahkan begitu kompatibel dengan universalitas dunia. Bahkan tahun 50-an Ir Soekarno dengan bangganya memperkenalkan ideologi pancasila kepada dunia. Pancasila adalah sumbangan berharga Indonesia bagi dunia.

Memang dalam proses pengamalannya Pancasila ini telah diperkosa oleh sekelompok elit penguasa. Pada masa Orde Lama Pancasila ditarik-tarik ke “kiri” sebagai legitimasi melawan hegemoni kapitalisme dan pada masa Orde Baru Pancasila dijadikan alat legitimasi pemerintah mengekang perbedaan pendapat yang muncul dalam masyarakat. Tafsir Pancasila yang begitu kaya direduksi oleh monopoli tafsir oleh kaum penguasa waktu itu. Tendensius politik telah mengaburkan nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya. Padahal jika direnungkan secara jernih, nilai-nilai yang terkandung dalam sila-silanya sungguh luar biasa. Nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sangat kompatibel dengan kehidupan manusia Indonesia bahkan dunia. Sehingga bukan persoalan nilai-nilai pancasila yang tidak mampu menghadapi perkembangan zaman, namun manusia Indonesialah yang belum memahami hakikat penghayatan pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Strategi Penanaman Nilai-nilai Kebudayaan

Secara teoritis tidak diragukan lagi bahwa Pancasila adalah puncak nilai-nilai luhur bangsa dan telah teruji kedalaman falsafahnya. Kemampuanya mengakomodasi heterogenitas bangsa adalah modal terbesar yang akan membawa masyarakat Indonesia menuju kesejahtraan. Namun memang yang menjadi persoalan adalah lemahnya penghayatan falsafah-falsafah luhur itu dalam tataran praktik masyarakat. Oleh sebab itu yang perlu dipikirkan adalah mengenai strategi internalisasinya.

Prof. Dr. Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar. Selain itu menurutnya terdapat tujuh unsur kebudayaan yang meliputi bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, dan sistem ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1979: 203-204). Ketujuh unsur kebudayaan ini disebut Koentjaraningrat sebagai unsur kebudayaan universal karena selalu ada pada setiap masyarakat. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa ketujuh unsur tersebut dapat diperinci lagi menjadi sub unsur hingga beberapa kali menjadi lebih kecil.

Dari pengertian kebudayaan tersebut bahwa lingkup kebudayaan terdiri 3 wujud yakni ide, sikap dan karya. Selain itu dalam upaya internalisasinya merupakan proses belajar tiada henti. Bukan jangka waktu satu tahun, dua tahun, lima tahun, namun hingga akhir hayat. Internalisasi nilai-nilai budaya itu dimulai penggalian kembali ide-ide luhur bangsa. Penggalian ide ini penting agar warisan pemikiran generasi pendahulu yang kaya dengan falsafah itu terus terpelihara. Yang kedua, yakni penanaman nilai-nilai luhur melalui sikap. Lingkup ini sudah lebih konkret dibandingkan lingkup ide yang abstrak. Adapun lingkup yang terakhir adalah hasil dari penanaman ide-ide dan sikap yakni hasil karya. Tentunya hasil karya merupakan output dari kedua proses internalisasi sebelumnya. Ketiga wujud kebudayaan itulah lingkup yang menjadi sasaran dalam optimalisasi inernalisasi nilai-nilai kebudayaan. Penanaman nilai-nilai budaya itu bukan berarti berjalan linier harus berawal dari penggalian ide, namun juga bisa memulainya dengan sikap atau karya.

Adapun pengoptimalannya melalui 7 unsur kebudayaan yakni meliputi:

1.Bahasa
Internalisasi nilai-nilai kebudayaan bisa dengan mengembangkan bahasa nasional dan daerah. Bahasa nasional mendapatkan banyak sumbangan dari bahasa daerah. Oleh sebab itu pemerintah bisa mendorong masyarakat di berbagai daerah untuk menggendakan penggunaan bahasa daerah di hari-hari tertentu, festival bahasa, serta apresiasi bahasa di berbagai tempat. Inilah beberapa upaya yang harus dilakukan pada aspek bahasa. Dorongan ini sangat perlu dilakukan dalam rangka melestarikan bahasa.

2.Kesenian
Manusia tidak bisa dilepaskan dari unsur kesenian. Manusia dianugrahi Tuhan Yang Maha Esa memiliki sisi estetik untuk mengekspresikan jiwanya melalui panca indra. Banyak cara untuk menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan. Pesan tersebut bisa melalui gambar (lukisan, foto, ukiran dsb), bisa melalui suara (pidato, orasi, tembang, musik, dsb), bisa melalui tulisan (buku, puisi, prosa, syair, dsb), dan bisa juga paduan dari semua unsur tersbut. Jadi, internalisasi nilai-nilai kebudayaan bisa dilakukan melalui banyak sarana. Internalisasi ini bisa diawali di instansi-instansi pemerintah.

3.Sistem religi
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang multikultural dan relijius. Toleransi beragama telah dipraktekkan bahkan sebelum “Indonesia” lahir. Toleransi beragama telah dipraktekkan sejak masa kerajaan. Buktinya terdapat banyak rumah ibadah antara lain; Masjid, Gereja, Pure, Klenteng, dan Vihara yang berdampingan secara damai. Ini menandakan bahwa kultur keberagamaan masyarakat Indonesia ini begitu moderat sehingga mampu mengakomodasi perbedaan. Semangat untuk hidup bersama secara damai begitu tinggi. Oleh sebab itu, pemerintah bisa bekerjasama dengan tokoh-tokoh agama mensosialisasikan 4 pilar yang saat ini sedang dalam proses sosialisasi.

4.Sistem teknologi
Pemerintah bisa mengoptimalkan pesan-pesan luhur falsafah bangsa melalui sarana teknologi yang ada seperti Televisi, Youtube, Facebook, twitter, dan lain sebagainya. Idealnya dalam upaya pembentukan karakter, program-program yang ditayangkan harus lebih banyak porsi edukasi ketimbang iklan atau program hiburan semata.

5.Sistem mata pencaharian
Masyarakat di berbagai daerah memiliki kekhasan sendiri dalam menghadapi tantangan alam. Bagi masyarakat yang tinggal di pesisir, kebanyakan pekerjaan masyarakatnya adalah nelayan. Bagi masyarakat yang tinggal di pedalaman kebayakan masyarakaynya bekerja sebagai petani. Tidak hanya itu, kehidupan masyarakat yang semakin kompleks melahirkan profesi-profesi masyarakat yang beragam. Dengan melihat kondisi tersebut pemerintah bisa mendorong mengembangkan perekonomian padat karya yang menghasilkan produk-produk atau karya khas Indonesia. Contoh di Jepara kerajinan ukir begitu diminati negara-negara Eropa. Bisa jadi di daerah-daerah lain juga sama. Jadi, pemerintah perlu mendorong masyarakat mengembangkan produk masyarakat yang khas.

6.Organisasi Sosial
Masyarakat Indonesia terkenal semangat kebersamaanya. Buktinya banyak sekali ditemukan  komunitas-komunitas yang beraneka ragam seperti komunitas berdasarkan kesamaan hobi, profesi dan sebagainya. Komunitas ini tentu memiliki stuktur organisasi. Kalaupun tidak, pastinya memiliki pemimpin-pemimpin kelompok yang yang berpengaruh. Target selanjutnya adalah mendekati pemimpin-pemimpin komunitas itu. Dengan kultur patenalistik seperti ini, pemerintah bisa memberikan pemahaman kepada pemimpin komunitas itu tentang nilai-nilai luhur bangsa. Secara otomatis pemimpin kelompok itu akan menyebarkan pengetahuannya kepada teman-teman lainnya. Bisa juga dengan mengundang seluruh komunitas untuk ikut dalam acara eksibisi (pameran) kemudian ditampilkan kekhasan bangsa Indonesia dari berbagai daerah.

7.Sistem ilmu pengetahuan
Bangsa Indonesia mewarisi banyak sekali warisan ilmu pengetahuan dari para nenek moyang. Banyak peninggalan-peninggalan dalam bentuk materi dan non materi. Dalam bentuk materi seperti bangunan-bangunan bersejarah antara lain candi, masjid, gereja, pure, klenteng dan sebagainya dengan arsitektur yang sangat indah belum lagi peninggalan rumah adat. Bahkan sampai saat ini teknik-teknik pembuatannya pun masih menjadi bahan pelajaran di kampus-kampus. Dalam bidang obat-obatan, di Indonesia banyak ditemukan warisan ilmu pengobatan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia bahkan dunia. Namun sayangnya banyak masyarakat kita sendiri yang mulai meninggalkannya. Oleh sebab itu yang sangat diperlukan saat ini adalah dorongan kepada masyarakat untuk mendekati masyarakat yang setia memegang teguh tradisi leluhur tersebut. Dorongan bisa berupa materi, dan apresiasi.

Epilog
Demikianlah beberapa upaya yang dilakukan agar penanaman nilai-nilai luhur bangsa dilakukan secara komprehensif. Penanaman nilai tidak bisa dilakukan secara parsial namun harus dilakukan secara holistik berkesinambungan. Kebudayaan pada dasarnya adalah proses yang berlangsung terus-menerus sehingga pemeliharaannya pun harus kontinyu tidak boleh berhenti.

Tidak ada komentar: