Kamis, Agustus 13, 2015

Mitos Dan Rasa Takut



Beberapa waktu yang lalu saya melihat ular di dekat motor saya. Ularnya kecil namun ukurannya panjang. Tubuhnya berwarna hitam dengan motif kuning-kuning bergaris. Entah itu ular jenis apa saya tidak paham. Saya takut sekali dan saya pun lalu menghindar dengan ekspresi ketakutan. Jika melihat ular, saya tiba-tiba menjadi takut sekali. Sudah lama saya merasa takut sama hewan melata yang satu itu. Mungkinkah saya mengalami trauma? Saya juga kurang tahu. Yang pasti jika bertemu dengan ular saya merasa geli saja.

Langsung saja saya berteriak dan meminta murid-murid saya untuk menangkap ular yang ada di depan saya. Adapun saya justru malah menjauh dalam keadaan panik. Anak-anak akhirnya malah menertawakan sikap saya yang begitu takut melihat ular.

Anak-anak remaja itu begitu bernafsu mencari ular itu. Batu-batu serta papan yang mereka anggap tempat bersembunyinya ular mereka bongkar. Dalam hati saya membatin “Ini anak kok berani sekali ya..enggak takut klo nanti digigit ular?”. Ketika sudah melihat ekornya, salah satu anak dengan entengnya memegang ekor ular itu. Sayangnya ular itu begitu lincah sehingga tidak tertangkap.

Kejadian itu saya ceritakan kepada teman saya Syarif. Saya bilang ke Syarif, “Pak tadi saya ketemu ular di sekolah, saya takut banget sama ular. Saya minta anak-anak aja buat nangkep tuh ular, mereka kok berani-berani ya? Saya malah lari ketakutan”.

Mendengar cerita itu Syarif langsung berkomentar. “Itu pertanda pengetahuan kamu masih setengah-setengah”. Saya masih berusaha mencerna apa yang dikatakan Syarif. “Maksudnya setengah-setengah gimana Pak?” ujar saya.

“Harusnya kan gak perlu takut, bisa jadi ularnya itu gak berbahaya. Itu tandanya pengetahuan kamu tentang seluk-beluk ular masih setengah-setengah. Coba kalau kamu tahu jenis-jenis ular, mungkin tidak perlu lari ketakutan” 

Saya kira ada benarnya juga apa yang dikatakan Syarif. Saya memang tidak paham seluk-beluk ular, tapi ya karena saya dari dulu memang sudah geli sama ular jadi jika ketemu ular reaksi saya langsung ketakutan. Obrolan kami pun terhenti karena kesibukan yang ada.

Selepas magrib obrolan kami mengenai sikap ketakutan saya itu muncul kembali. Saya yang tertarik dengan pernyataan Syarif berusaha menguji kembali apakah argumen Syarif asal-asalan saja atau memang bisa dipertanggungjawabkan.

Beberapa Kasus Seputar Rasa Takut
Rasa takut bisa saja menghantui seseorang dalam kondisi tertentu. Rasa takut jika tidak dicermati secara saksama bisa menjadi penjara bagi jiwa seseorang dalam bertindak. Misalkan, ada seorang yang setelah mendapat cerita perihal keangkeran suatu tempat lalu ia menjadi takut melewati tempat itu di malam hari.  Ketika ditanya mengapa anda takut melewati tempat itu? Lalu dia menjawab “saya takut lewat tempat itu karena kata orang-orang tempatnya angker banyak hantunya”. Padahal sebelumnya Ia merasa biasa-biasa saja ketika melewatinya.

Ada seorang mahasiswa tingkat akhir yang tidak kunjung menemui dosen pembimbingnya padahal sudah separu perjalanan. Ketika ditanya kenapa Ia tidak kembali menghubungi dosennya? Ternyata alasannya beragam. Ada yang beralasan khawatir akan dicorat-coret lagi, tidak diterima, tidak di acc, kena semprot dan lain sebagainya. Akhirnya mahasiswa itu hilang dari peredaran kampus alias DO (Drop Out).

Ada seorang lelaki yang tidak berani melewati suatu tempat karena kata orang-orang di tempat tersebut banyak begalnya. Dia berusaha menghindari jalan tersebut dan memilih mencari jalan lain. Padahal peristiwa begal hanya terjadi sesekali atau beberapa kali. Akan tetapi lantaran sudah termakan mitos, bagaimanapun kondisinya Ia tetap menghindari jalan tersebut dengan dalih cari aman. Di sisi lain dia tidak punya keterangan akurat terkait tempat dan begal dijalan tersebut. Alhasil Ia menjadi gagal move on.

Kasus lainnya: waktu kecil saya pernah diberikan informasi sama teman saya jangan makan semangka berbarengan sama teh manis nanti bisa menyebabkan kematian. Akhirnya sampai beberapa waktu saya kepikiran terus pendapat teman saya itu hingga apabila saya makan buah semangka, saya akan selalu menghindari minum teh manis. Baru beberapa tahun belakangan ini saya tidak merasa takut lagi karena saya melihat beberapa teman saya biasa-biasa saja ketika makan teh manis dengan semangka secara bersamaan.

Benarkah rasa takut itu karena seseorang setengah-setengah dalam mendapatkan pemahaman?

Berawal dari obrolan mengenai ular dan sikap takut saya, kemudian obrolan kami melebar mengenai munculnya rasa takut dalam diri seseorang dalam banyak hal. Misalnya mengapa seseorang takut kepada hantu, tempat angker, tempat rawan pencurian/begal, mahasiswa yang tak kunjung datang bimbingan karena takut ketemu dosen, seseorang yang takut dengan lawan tandingnya, lawan bicaranya dalam berdebat, hingga takut kepada Tuhan.

Bagi saya obrolan malam itu sangat menarik dan menambah pengetahuan baru bagi saya mengenai rasa takut yang menghinggapi setiap orang. Saya berusaha menggali definisi takut menurut para ahli agar pemahaman saya mengenai rasa takut itu lebih terarah.

Mungkin banyak sekali mitos-mitos yang menimbulkan rasa takut dalam diri kita hingga sangat mendasari alam bawah sadar kita dalam memandang lingkungan sekitar. Repotnya apabila rasa takut itu menjadi penjara bagi jiwa. Seseorang yang kurang kritis (Dalam artian kurang mendayagunakan kemampuan berpikir logis) terhadap lingkungannya tentu akan mudah menjadi korban propaganda pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab apabila mereka mengetahui bahwa propaganda ini sangat efektif dalam mempengaruhi seseorang dalam bertindak.

Saya searching di google apa definisi “takut” itu karena tidak baik juga jika saya berpendapat tanpa ada dasar pengetahuan yang cukup. Saya cari pendapat-pendapat para ahli mengenai definisi takut. Dan, ternyata sudah banyak ahli-ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai rasa takut. Dalam beberapa pendapat para ahli itu juga saya menjadi tahu ternyata ada perbedaan definisi tentang takut dan cemas. Menurut Wignyosoebroto (1981), ada perbedaan mendasar antara kecemasan dan ketakutan. Pada ketakutan, apa yang menjadi sumber penyebabnya selalu dapat ditunjuk secara nyata, sedangkan pada kecemasan sumber penyebabnya tidak dapat ditunjuk dengan tegas, jelas dan tepat. Berdasarkan definisi itu sepertinya saya bisa dikategorikan orang yang merasa “cemas”. Ya, soalnya ketika saya melihat ular, saya langsung berteriak saja dan menjauhinya. Pikiran saya terlalu negatif terhadap segala macam ular.

Rasionalisasi Sebagai Pembebas Jiwa
Dahulu ketika masyarakat Eropa mengalami masa kegelapan (The Dark Ages), teror berupa propaganda, mitos, ketakutan, menghinggapi pola pikir masyarakatnya. Perkembangan ilmu pengetahuan berjalan sangat lambat. Jiwa mereka terisolir dengan pandangan mereka sendiri tentang alam semesta.

Alam semesta yang luas ini begitu menakutkan bagi mereka. Bahkan waktu itu hingga muncul mitos bahwa jika seseorang berlayar terlampau jauh nanti akan terperosok ke jurang dan akan dimangsa monster mengerikan yang sedang menunggu di dasar laut. Kepercayaan itu terpatri hingga beabad-abad hingga selama itu pula dikatakan bahwa masyarakat Eropa tidak berani mengarungi samudra. Barulah sekitar abad 13 mitos itu perlahan-lahan mulai dibongkar. Marcopolo salah seorang pelaut asal Italia merupakan pelopor yang hingga saat ini masih tercatat dalam sejarah.

Di Indonesia dulu tahun 70-an muncul seorang pemikir Islam yang kontroversial. Beliau adalah Nurcholish Madjid. Ide sekulerisasinya yang dimuat tanggal 2 Januari 1970 disurat kabar menghentak umat Islam di Indonesia. Tulisan itu berjudul “Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Ia melihat umat Islam sedang mengalami kemandegan dalam berpikir. Umat Islam mengalami kerancuan dalam menganalisa keadaan. Umat Islam tidak mampu membedakan mana yang bersifat profan dan mana yang bersifat sakral.

Itulah beberapa kasus betapa mengerikannya hidup jika mitos-mitos mencengkram alam pikiran manusia. Manusia telah terpenjara sejak dalam pikiran. Bisa jadi diantara kita masih banyak mengalami keterpenjaraan jiwa dalam banyak hal sehingga membuat gerak dan langkah kita mandeg.

Kalau boleh bercerita sejujurnya saya merasa beruntung sekali ketika kuliah dulu pernah mendapatkan mata pelajaran filsafat. Awalnya saya khawatir dengan mata pelajaran ini karena pada umumnya orang-orang memandang begitu negatif terhadap mata kuliah yang satu ini. Sering kali muncul rumor yang mengatakan  seperti ini : “Hati-hati kalau belajar filsafat nanti jadi orang keblinger lho!”, “Awas nanti jadi atheis!”, Bahkan “Awas nanti jadi JIL (Jaringan Islam Liberal)”. Sungguh naif sekali ungkapan-ungkapan itu. Dan kenyataanya di Indonesia khususnya umat Islam sebagian besar tidak memprioritaskan jurusan itu. Buktinnya sedikitnya mahasiswa yang terdaftar diperguruan tinggi mendaftar jurusan filsafat. Seolah-olah jika memilih jurusan itu pintu rizki akan tertutup rapat. Semakin orang-orang disekitar saya banyak yang negatif thinking dengan ilmu filsafat justru membuat saya semakin ermotivasi mempelajarinya. Saya berusaha mengabaikan omongan-omongan orang yang tidak jelas pertanggungjawabannya. Memang apa yang saya lakukan melawan arus dengan lingkungan saya. Entah kenapa dalam pikiran saya terbesit. “Kenapa ya klo di Indonesia orang-orang yang masuk ilmu-ilmu sosial (saya mahasiswa sastra waktu itu) itu keliatan kurang prestise beda sama orang-orang yang kuliah di jurusan-jurusan eksak. Terlihat dari gedung kuliahnya saja. Seakan-akan fakultas-fakultas non eksak itu diperlakukan seperti “anak tiri”?. Termarjinalkan!. Akan tetapi saya heran kenapa orang-orang luar negeri seperti Jepang, Singapore, Amerika Serikat, Prancis justru begitu antusias mempelejari kebudayaan Indonesia. Mereka begitu antusias mempelajari falsafah hidup bangsa Indonesia, Kebudayaan Jawa, Sunda dsb. Apa sih yang mereka semua cari?” pasti ada sesuatu yang belum dipikirkan bangsa Indonesia. Inilah yang memotivasi saya untuk tekun membaca buku-buku sejarah, memaksakan diri mengonsumsi buku-buku filsafat meski kadang-kadang sulit dimengerti. Bahkan mungkin sebagian dari kita menjauhi bacaan-bacaan berat itu.

Dengan demikian pantas saja negeri ini masih kekurangan stok pemikir (think tank) yang mampu membaca situasi secara cermat. Bangsa ini justru mudah dijebak dengan propaganda-propaganda murahan sosial media. Masyarakatnya mudah dipengaruhi oleh pengaruh ini dan itu. Masyarakat kita mudah menggeneralisasi suatu hal yang justru tidak ada kaitannya. Kekeliruan berpikir logis adalah persoalan serius yang mendasar. Dan jika dimasa depan generasi kita tidak terbiasa berpikir kritis, maka bisa dipastikan di masa yang akan datang bangsa kita akan mengalami krisis inteletual yang berkepanjangan.


Magelang, 13 Agustus 2015

Tidak ada komentar: